Jelajah Pangrango di Musim Puspa (1)
Monday, 11 August 2008 | www.greenradio.fm
Tak perlu ngebut ke puncak gunung. Jalan santai justru lebih asyik. Sediakan waktu 3 siang dan 2 malam, untuk menikmati rute tradisional dari taman nasional yang amat kaya ini. Akhir Juni lalu, Puspa wangi berguguran di Kandang Batu.
Anak anak muda biasanya berangkat mendaki Pangrango selepas maghrib. Berjalan cepat, supaya sebelum subuh sudah tiba di puncak. Menunggu matahari terbit, sambil menyruput kopi. Semburat merah matahari, adalah keindahan yang mustahil dilupa. Sejenak di puncak, mereka lantas ngebut turun gunung. Keasyikan macam itu, masih membekas meski telah 25 tahun berlalu. Kini, saya ingin menikmati Pangrango dengan cara berbeda. Sesuai umur, dan dengkul.
Rencananya adalah berjalan santai di siang hari. Sambil belajar mengenali tanaman. Itu sebabnya, kami ajak Pak Sopian, pegawai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang hapal segala jenis tanaman di sini. Tak berlebihan, rekan-rekannya di TN GGP memanggilnya ”profesor”. Dan, sebelum malam tiba, kami akan berhenti untuk buka tenda. Perjalanan dilanjut esok harinya. Diperhitungkan, rombongan – Ayu, Danang, Dono, Erik, Ivan, dan saya — akan berkemah di hutan dua malam.
Rabu, 25 Juni 08. Pukul 09, di depan pos pemeriksaan Resort Mandalawangi, kami sudah dikuliahi Pak Sopian. Sebatang pohon saninten (Castanopsis argentea), tumbuh menjulang di sana. Batangnya kokoh. Bentuk buahnya seperti rambutan, tetapi lebih kecil. Biji saninten, enak dibakar. Rasanya mirip kelapa. Yang menyedihkan, karena enak dimakan itu, bibit saninten kini sulit dicari. Apalagi tingkat keberhasilan membuat bibit juga sangat rendah. ”Saya pernah tanam 100, yang hidup hanya 17,” kata Sopian. Mantan Presiden Megawati, termasuk tokoh yang prihatin dengan langkanya saninten.
Setapak kemudian, kita memasuki hutan sub montana (1.200-1.500 mdpl). Batas alamnya, nanti ditemui di Telaga Biru. Hutan Sub Montana memiliki lebih banyak jenis tanaman dibanding hutan yang lebih tinggi. Maka, dengan perhatian yang cukup, kita akan banyak menemui pohon, seperti walen (Ficus ribes) yang buahnya sangat disukai burung dan tupai. Buah konyal (Passiflora suberosa) yang enak dimakan. Konyal sebetulnya bukan tanaman endemik TN GGP. Tanaman ini berasal dari Brazilia, tetapi sudah banyak hidup di sepanjang jalan setapak ini. Kalau sedang musim, Anda juga dapat membeli konyal di Pasar Cibodas.
Yang paling menonjol adalah rasamala (Altingia excelsa). Tanaman ini sering disebut raja hutan pegunungan. Endemik di Jawa Barat. Sebatang rasamala di hektometer (HM) 5, sebelah kanan jalan setapak, sungguh luar biasa. Tingginya lebih dari 60 meter. Lingkar batangnya tak bisa dipeluk tiga orang dewasa bergandengan. Rasamala itu diperkirakan sudah berumur 350 tahun. ”Rasamala itu musuhnya manusia. Kalau tidak ada yang nebang, umurnya bisa ratusan tahun,” kata Sopian. Getah rasamala beraroma wangi, berguna untuk obat obatan dan parfum. Daunnya yang muda enak untuk lalap. Dan dapat mengurangi batuk.