Image Alt

Blog

Cerita dari Mata Air Batukarut Sukabumi

Friday, 08 August 2008 | www.greenradio.fm

Mata Air Batukarut 1

Kamis (7/8) tim survey Green Radio berkunjung ke salah satu mata air yang sangat penting bagi kehidupan warga Kotamadya dan Kabupaten Sukabumi, Batukarut. Mata air yang ditampung dalam sebuah danau buatan ini terletak diantara dua desa, Langensari dan Selaawi.

Perjalanan dari Jakarta menuju Batukarut memakan waktu kurang lebih 3 jam melewati pusat kota Sukabumi menuju arah Kabupaten Cianjur. Sampai di jalan Desa Langensari, perjalanan mulai menanjak dan semakin menyempit dengan aspal yang rusak disana sini.

Dipinggir danau Batukarut berjejer sepeda motor. Loh pada kemana pengemudinya? Ternyata mereka masuk kedalam danau yang airnya surut drastis untuk memancing. Ini kesempatan langka untuk mengail ikan Nila yang bibitnya sudah lama ditebar disana. Yang tak sabaran menunggu ikan makan umpan, bisa langsung menebar jala di tengah danau dan pulang dengan banyak ikan di tangan.

Tapi bukan aktifitas para penangkap ikan tadi yang menarik perhatian kami. Surutnya mata air Batukarut ini sungguh menyakitkan hati. Dari kedalaman normal 12 meter kini tinggal tersisa 5 meter saja. Dari 250m3/detik debit air di mata air itu tahun 2000 lalu, sekarang tinggal 15m3/detik. Warga mulai merasakan sulit air sementara Perusahaan Daerah Air Minum Kota Sukabumi pun mulai kalang-kabut mencari sumber mata air.

“Tahun 2000 saya masih sulit menahan derasnya air yang mengalir dari Pancuran Tujuh ini Pak, sekarang ya ampun….” Kata Dallas, Marketing Green Radio dengan ekspresi tercengang tak percaya. Sebagai putra daerah Sukaraja Sukabumi, dia tahu persis mata air inilah yang menghidupi warga Sukabumi. Disinilah anak-anak Sukabumi menghabiskan waktu berekreasi dengan mandi di Pancuran Tujuh yang mengalirkan airnya ke danau Batukarut.

mm

Mata air BatuKarut kini hanya dinaungi pohon-pohon besar khas hutan di kaki Gunung Gede Pangrango seluas 5 hektar, tanah yang jadi milik PDAM Kota Sukabumi. Kiri dan kanan lokasi ini dipadati oleh pemukiman penduduk. Dalam model zonasi perlindungan mata air, seharusnya di radius 13,5 hektar tidak boleh ada pemukiman ataupun aktivitas yang bisa merusak ekosistem hutan.

Tim lalu beranjak ke lokasi Zona dua dari model perlindungan mata air yang luasannya adalah 72 hektar. Disini seharusnya tidak boleh ada aktivitas yang bisa mencemari air tanah. Di jalan yang semakin menyempit menanjak dan hanya dialasi bebatuan, kami pun berangkat. Di sepanjang jalan ada beberapa kegiatan yang sebenarnya bisa menimbulkan pencemaran, seperti pengolahan pupuk kandang, peternakan ayam dan sapi. Sementara yang paling menyedihkan adalah seluas 72 hektar Zona II itu tidak ada satu pohon besar yang hidup. Semua lahan sudah berganti fungsi menjadi ladang jagung, terong dan kacang panjang milik sebuah perusahaan swasta. Dan sepanjang mata memandang ke arah puncak Gunung Gede Pangarango yang ada adalah perkebunan, nyaris tanpa pohon besar atau pohon pinus khas Gede Pangrango.

Lalu, bagaimana air hujan bisa terserap dengan baik bila tak ada lagi wilayah penangkap air hujan? Tak ada lagi akar pohon yang bisa menahan arus air hujan yang turun di pegunungan ini. Sakit hati rasanya melihat Gunung Gede Pangrango tinggal kenangan dan berganti ladang seperti itu. Kebutuhan ekonomi menggeser fungsi hutan sesungguhnya. Sementara di kaki Gunung Gede, di bawah sana, mata airnya semakin tiris. Bila tak ada tindakan penyelamatan, mata air Batukarut pun umurnya diperkirakan tinggal 2 bulan.

[Source: www.greenradio.fm | teks & gambar © greenradio.fm | Nita Rosita]

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit sed.

Follow us on