Image Alt

Blog

Jelajah Pangrango di Musim Puspa (2)

Air Panas – Kandang Badak

Tuesday, 19 August 2008

bb

Puas berendam di Air Panas, kami lanjutkan perjalanan. Tenaga sudah lumayan pulih. Dan sisa tempuh hari ini tak terlalu panjang lagi. Kami akan melewati Kandang Batu, tanjakan Panca Weuleh, dan tiba untuk berkemah di Kandang Badak. Rasanya, tinggal sebentar lagi, untuk benar benar bisa meluruskan kaki.

Jarak Air Panas dan Kandang Batu tidak terlalu jauh. Jadi kami jalan santai saja. Apalagi di jalur ini, banyak sekali pohon puspa (Schima wallichii) yang sedang berbunga. Wanginya menyebar dari kelopak bunga berwarna putih. Hamparan puspa yang gugur di sepanjang jalan ke Kandang Batu, membuat saya enggan melangkah cepat. Apalagi kabut mulai turun sejak di Air Panas tadi, membayangi kanopi pohon pohon puspa, yang bunganya berguguran itu. Menciptakan pemandangan indah yang sulit ditinggalkan. Musim ini sangat baik untuk menyambangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

nn

Puspa adalah salah satu tanaman andalan kita untuk program Hutan Sahabat Green (HSG), di Desa Ciputri, Pacet Cianjur. Saya membayangkan, kalau program kerjasama Green Radio dan TN GGP, itu nanti berhasil, 30 tahun lagi, area HSG sudah akan lebat dengan puspa. Bunganya akan berjatuhan, seperti di sepanjang jalan Air Panas ke Kandang Batu ini. Wanginya akan membuat para Sahabat Green betah mengunjungi pohon yang mereka adopsi. Tapi, ya itu berpuluh tahun lagi. Kita mesti kerja keras dulu, untuk mewujudkan Hutan Sahabat Green.

mm

Kandang Batu (2.200 m), dulu sering juga disebut Lebak Saat. Tempat ini sangat ideal untuk berkemah. Sumber airnya tak pernah kering. Dinding tebing di dekat kali juga cocok untuk perlindungan dari angin kencang. Tetapi banyak pendaki, tidak memilih tempat ini untuk berkemah, karena masih terlalu jauh dari Puncak Pangrango. Begitupun kami, memutuskan untuk menambah dulu ketinggian, sebelum bermalam. Untuk itu, kami harus melewati tanjakan Panca Weuleh.

Panca Weuleh, dalam Bahasa Sunda, kurang lebih berarti ”lima kali capek”. Memang tanjakannya terjal, dan ada lima yang membuat capek. Kita memulai dari tanjakan pertama, persis setelah camping ground di Kandang Batu. Masih enak ditanjak. Apalagi di sebelah kanannya, kami melihat air terjun yang lumayan indah. Tidak tinggi, tetapi unik. Air terjun itu, mestinya diberi nama. Supaya menjadi penanda, dan menunjukkan keunikan macam macam tempat di TN GGP ini. Sayangnya, air terjun secantik itu, diabaikan, sampai tak diberi nama khusus.

nn

Lewat setiap tanjakan, biasanya ada tanah datar sejengkal. Kami berhenti di tiap tanah datar itu, sekadar meluruskan punggung, mengunyah bekal tambahan tenaga. Kemudian akan ada tanjakan lagi, dan begitu seterusnya. Saya biasanya sudah tak ingin lagi menghitung, kami ada di tanjakan ke berapa. Lebih suka menjalani saja. Nanti toh akan sampai juga. Tetapi, ada rekan yang bolak balik tanya, ” sekarang tanjakan ke berapa?” Saya tanya Pak Sopian, dia juga tak hapal. Rupanya, tanaman lebih menarik perhatian dia ketimbang gundukan batu yang mesti kami lewati.

Yang menyenangkan di Tanjakan Panca Weuleuh ini, banyak sekali pohon arbei hutan. Kita bisa memetiknya sambil jalan. Menikmati asamnya yang menyengat. Seperti menyecap tenaga tambahan untuk segera melewati capek.

nn

Dan, memang sekitar dua jam setelah spa di Air Panas, kami sudah tiba di Kandang Badak (2.400 m). Di batas hutan montana ini, kami membuka tenda, bermalam, dan mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Pangrango esok hari. Puncak itu dari belakang tenda kami sudah terlihat sangat jelas. Pak Sopian menggambarkan, perjalanan besok akan mengitari punggung gunung, dan sedikit demi sedikit menggapai puncak.

bb

Nama Kandang Badak memang mengundang tanya. Apakah pernah ada badak sampai tempat setinggi ini? Menurut catatan F.W. Junghuhn, ahli botani Jerman yang bertugas untuk Belanda, memang ditemukan bekas kaki badak di sekitar tempat ini. Junghuhn mendaki ke Puncak Pangrango sekitar tahun 1830-an, setelah ledakan besar di Gunung Gede. Ia bukan hanya membuka jalur pendakian, tetapi juga mengadakan sejumlah percobaan menyangkut tanaman. Di Kandang Badak, misalnya, Junghuhn menanam tiga batang cemara (Cupresus semperpiren), yang oleh penduduk lokal disebut kayu besi.

Cemara Junghuhn itu, satu sudah mati, tak berbekas. Satu batang kini meranggas. Pucuknya sudah kuning, dan menunjukkan tanda tanda akan mati dalam waktu tak lama lagi. Tinggal satu pohon cemara yang masih tegak dan hijau. Rupanya, cemara cemara ini tak bisa berkembang biak. Buahnya gagal bertahan menjadi bibit, ketika jatuh di lahan yang sudah ramai diduduki pohon lain. Dua cemara yang mati dan hampir mati itu, letaknya di dekat perkemahan. Satu yang masih hijau segar, ada di bawah tebing, jauh dari jalur pendakian. Jadi, ada kemungkinan cemara itu mati karena pelan pelan ditebangi pendaki gunung.

vvv

Bukti untuk buruknya ulah pendaki, kami temui pada batang jamuju (Dacrycarpus Imbricatus) yang rebah di depan tenda. Bekas hantaman parang masih terlihat di pangkal jamuju rebah itu. Daunnya masih menempel di pucuk. Hanya ranting rantingnya yang lenyap. Saya menduga para pendaki menebang jamuju itu untuk kayu bakar. Karena masih basah dan sulit menyala, mereka ambil ranting rantingnya saja. Malam hari di Kandang Badak memang cukup dingin. Malam itu, 8 derajat Celcius. Tetapi, jelas ini sama sekali bukan pembenar untuk kita menebangi pohon.

bb

“Perlu waktu 20 tahun untuk Jamuju menjadi sebesar ini. Kalau ditebang sebentar saja lenyap,” kata Sopian kesal dengan ulah penebang pohon itu. Pecinta alam, adalah perusak paling berbahaya di TN Gunung Gede Pangrango. (Bersambung)

[Source: www.greenradio.fm | teks & gambar © greenradio.fm | Santoso]

Post a Comment

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit sed.

Follow us on