Penyadapan Getah: Modus Mematikan Pohon Secara Perlahan
oleh: Ida Rohaida*
Kawasan taman nasional idealnya merupakan suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, wisata alam dan rekreasi (UU no. 5 tahun 1990 dan PP no. 28 tahun 2011). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) setelah mengalami penambahan luas kawasan pada tahun 2003 dari 15.196,00 hektar menjadi 22.851,03 hektar yang merupakan pelimpahan dari Perum Perhutani, mempunyai konsekuensi perubahan fungsi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, di mana dari segi eksistensi kawasan dan sistem pengelolaan terdapat banyak perbedaan antara keduanya; fungsi sebagai hutan produksi ketika dikelola Perum Perhutani menjadi hutan konservasi di bawah pengelolaan Balai besar TNGGP.
Apabila dilihat secara kasat mata kawasan perluasan TNGGP (eks Perum Perhutani) umumnya merupakan hutan homogen dengan jenis tumbuhan pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis lorantifolia), rasamala (Altingia excelsa) dan eukaliptus (Eucalyptus alba). Keberadaan kedua jenis pohon pinus dan damar selain bukan jenis endemik TNGGP (aliens species) juga merupakan pohon yang dulunya ditanam bertujuan untuk produksi hasil kayu maupun hasil bukan kayu misalkan getahnya. Sampai saat ini masyarakat yang menggarap kawasan perluasan dan masyarakat lainnya masih memanfaatkan getah dengan cara disadap, alih-alih memanfaatkan kayu atau menebang pohon sudah tidak diperbolehkan karena merupakan tindak pidana kehutanan sesuai yang diatur dalam pasal 50 (3) huruf e UU no. 41 tahun 1999.
Kegiatan penyadapan getah oleh masyarakat di blok Tangkil, Cisarua, Genteng dan Pasir Hantap di Seksi PTN Wilayah IV dan V Balai Besar TNGGP merupakan suatu perbuatan ilegal karena walaupun menurut PP no. 28 tahun 2011 dimungkinkan karena dapat memberikan penghasilan tambahan bagi mereka namun masih memerlukan tahapan sampai dikeluarkannya Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) dari Menteri Kehutanan cq. Pejabat UPT setempat dalam hal ini Ditjen PHKA dan Balai Besar TNGGP, sementara payung hukum untuk pemanfaaatan HHBK dari kawasan konservasi belum ada, nah.. Faktanya penyadapan getah damar maupun pinus di kawasan TNGGP dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pengawasan petugas, dan mirisnya lagi penyadapan yang dilakukan dengan cara menyodet/melukai batang pohon menjadi modus dalam mematikan pohon agar suatu saat nanti bisa mereka manfaatkan kayunya.
Penyodetan yang dilakukan terus-menerus mengakibatkan keroposnya batang pohon dan lama-lama menjadi lubang menganga di batang pohon. Beberapa bulan atau tahun kemudian lubang membesar sehingga pangkal pohon tidak mampu lagi menyangga berat tubuhnya sendiri dan kita tahu apa yang terjadi – tumbanglah pohon tersebut. Ketika keadaan ini diketahui petugas dan masyarakat yang menggarap lahan ditanya mereka menjawab “Saya tidak tahu Pak”.. atau “Pohon tumbang karena angin besar Pak!”, dan alasan-alasan lain yang sifatnya menghindar. Sementara itu di luar pengetahuan petugas atau ketika petugas tidak sedang berpatroli ke blok itu mereka sedikit demi sedikit memotong pohon ‘korban’ itu menjadi kayu olahan untuk rumah atau gubug, kayu bakar atau dibuat arang. Miris sekali nasib pohon itu, bertahun-tahun dia mencoba tumbuh dan berkembang, manusia-manusia tidak bertanggung jawab memutilasi mereka perlahan-lahan.
Penanganan oleh petugas khususnya Polhut TNGGP dilakukan terus-menerus secara preventif, penyuluhan maupun represif. Meskipun belum semua pelaku tindak pidana penebangan/pengambilan pohon berhasil diproses oleh PPNS atau penyidik Polri, tetapi diharapkan akan membuat efek jera bagi yang lainnya dan berangsur-angsur proses gangguan keamanan hutan dapat ditekan.
Itulah suatu fenomena gangguan keamanan kawasan TNGGP berupa pencurian hasil hutan kayu sekaligus bukan kayu sebagai suatu ekses dialihfungsikannya hutan produksi menjadi hutan konservasi. Namun itu semua menjadi suatu tantangan bagi TNGGP sebagai pengelola kawasan dalam mengatasinya dengan metoda yang lebih mutakhir lagi untuk mengimbangi militannya perjuangan masyarakat penggarap dalam merusak hutan. Polhut sebagai ujung tombak pengamanan kawasan perlu ekstra memutar otak dan bekerja lebih keras lagi dalam mengatasinya.