Satwaku yang hilang telah kembali
Ajag (Cuon alpinus Pallas, 1811:34)
Dhole Asiatic Wild Dog
Daerah penyebaran yang terbatas dan habitat yang cenderung menyempit, serta banyak dianggap sebagai musuh (hama) oleh masyarakat, maka kelestarian ajag sangat rawan. Populasinya di dunia diperkirakan tinggal 2.500 ekor saja, menyebar di dataran Asia mulai dari Bangladesh, Bhutan, Kamboja, China, India, Tajikiztan, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Russia, Kazakhstan, Thailand, Vietnam dan Indonesia. Oleh karena itu organisasi konservasi alam internasional (IUCN) mengklasifikasikan jenis satwa ini sebagai satwa yang hampir punah (endangered) dan masuk appendik II dalam CITES, yang berarti pemanfaatannya sangat terbatas dengan sistem penjatahan (quota) dan pengawasan yang ketat. Pemerintah RI telah melindunginya sejak tahun 1931; Saat ini dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Ajag di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
Tak jauh beda dengan kondisi umumnya, populasi ajag di kawasan TNGGP pun cenderung ada penurunan. Menurut cerita Kasi P2 Balai Besar TNGGP, pada tahun 70-an, satwa yang namanya ajag di kawasan TNGGP cukup banyak, bahkan bisa ditemukan sampai dipinggiran hutan, Beliau pernah dikepung anjing hutan, disaat bakar ayam disekitar Kandang Batu. Pengalaman Kasi P2 Balai Besar KSDA Jawa Barat, menyatakan bahwa pada tahun 80-an masih sering terdengar lolongan suara ajag di alun-alun Suryakancana; Saat Beliau masih bertugas sebagai Personil TNGGP (1987), pernah bersegera pulang dari Alun-alun Suryakancana, gara-gara lolongan anjing hutan disekeliling Alun-alun.
Mulai tahun 1988, semakin jarang orang melaporkan pertemuan dengan ajag di kawasan TNGGP, sampai akhirnya personil PEH BB TNGGP, pada bulan Meret 2014 melaporkan hasil penemuan ajag di daerah Bodogol, melalui Camera trap yang sebenarnya dipasang untuk memonitor macan tutul. Dalam rekaman camera video tersebut, terlihat ajag menyendiri (soliter).
Biasanya anjing hutan mengembangkan mekanisma hidup berkelompok, mulai 5 – 12 ekor/kelompok, terutama untuk lebih menjamin keberhasil perburuan. Namun kenapa di kawasan TNGGP ditemukan soliter ? PEH TNGGP sedang berusaha mencari jawabannya !
Sedikit tentang Ajag
Kadang ajag dianggap sama dengan serigala, dingo, rubah, raccoon. Padahal sebenarnya tidak sama, mereka hanya berkerabat saja. Serigala/Wolf (Canis lupus) banyak ditemukan di Eropa; Dingo/Domestic dog (Canis familiaris), banyak ditemukan di Australia; Rubah/Fox (Canis vulpes), Racoon (Nyictereutes procynoides) banyak ditemukan di Cina, Vietnam, Rusia, dan Eropa.
Ukuran tubuh ajag tidak jauh berbeda dengan kerabatnya, anjing peliharaan; Panjang 90 cm tinggi 50 cm, ekor 40-45cm; berat 12-20 kg. Warna tubuh ajag coklat kemerahan; bawah dagu, leher hingga ujung perut berwarna putih, ekor tebal kehitaman.
Sebagai satwa pemburu, mereka dilengkapi peralatan yang bisa mendeteksi satwa buruan dengan baik. Indra penciumannya dilengkapi dengan 220 juta sel (manusia hanya 5 juta sel). Indra pendengarannya 4 kali lebih baik dari manusia. Ajag bisa mendeteksi suara rendah, mulai dari 16 – 20 Hz (manusia 20 – 27 Hz), suara tinggi 70 – 100 kHz (manusia 13 – 20 kHz). Daun telinga dilengkapi lebih dari 18 otot sehingga memungkinkan ajag memiringkan, menegakan, bahkan memutar daun telinga.
Yang Bisa Kita Lakukan
Sampai saat ini belum banyak orang yang memanfaatkan ajag untuk kehidupannya. Di kawasan konservasi mereka berfungsi sebagai stok plasmanutfah, yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang budidaya; Selain itu mereka merupakan satu mata rantai eksosistem sebagai pengendali populasi herbifora dan penyedia pakan bagi top karnifora.
Mengingat kita belum banyak meneliti dan mengetahui manfaat ajag untuk kehidupan manusia, maka sepantasnyalah, kekayaan “titipan Tuhan YME” ini kita lindungi dan dilestarikan, Siapa tahu suatu saat dimasa yang akan datang, orang sempat meneliti dan mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun bila sudah terlanjur musnah, bagaimana kita bisa memanfaatkannya.
Yang bisa kita lakukan sa’at ini antara lain.: Melindungi habitat dengan cara menjaga hutan-hutan konservasi; Angkat bicara bila ditemukan ada yang merusak habitat satwa liar ini dan apabila ada yang memelihara jenis satwa ini tanpa ijin; Tidak mengkonsumsi/menggunakan bahan yang berasal dari satwa liar; Melaporkan kejadian illegal tersebut kepada pihak berwenang : Polhut atau Polri. (Ayi Rustiadi)