Image Alt

Blog

Adopsi pohon metode MIYAWAKI

Adopsi pohon metode MIYAWAKI

sebagai Destinasi Wisata Baru TNGGP

Program adopsi pohon  adalah salah satu upaya rehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi dengan melibatkan orang lokal (sebagai pelaksana penanaman dan pemeliharaan) dan  adopter sebagai penyandang dana, serta operator (sebagai pengelola kegiatan).

Saat ini Balai Besar TNGGP, sedang gencar-gencarnya melaksakan upaya restorasi kawasan, sehubungan dengan adanya alih fungsi kawasan hutan  dari hutan produksi /lindung Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi  di bawah pengelolaan Balai Besar TNGGP.  Sebagian kawasan alih fungsi mengalami degradasi akibat penggarapan oleh masyarakat (eks PHBM).

Sebagai operator utama program adopsi pohon di Balai Besar TNGGP adalah Perkumpulan  GEDE PAHALA dan di lapangan dibantu oleh beberapa organisasi seperti  OISCA Training Centre, Green Radio FM,  dan Conservation International Indonesia (CII).  Operator kegiatan restorasi dengan metoda Miyawaki di Resort Situgunung Cimungkad (BBTNGGP) adalah OISCA Training Centre Sukabumi.

Jarak Tanam Bervariasi

Sehubungan dengan kondisi lahan yang bervariasi (ada yang terbuka sama sekali, tertutup semak belukar dan beberapa pohon serta anakannya, ada yang berupa hutan sekunder dengan pohon yang jarang-jarang), maka jarak tanam pun bervariasi.   Secara global bisa dibedakan tiga metoda penanaman (berdasarkan jumlah bibit per luasan areal tanam) :  (1) Pengkayaan dengan jumlah bibit 400 batang per ha;  (2)  Reboisasi bisa dengan jumlah bibit  1.200 batang per ha, dan (3)  Metoda Miyawaki dengan jumlah bibit 20.000 s/d 30.000 batang per ha.Dilihat dari tingkat keberhasilan, restorasi melalui metode Miyawaki, jauh lebih baik dari dua saudara tuanya  (pengkayaan dan reboisasi konvensional).  Metoda Miyawaki pertama kali dicoba di kawasan TNGGP pada awal tahun 2012, tepatnya di blok Balong Los Beca Resort Situgunung Cimungkad Seksi Wilayah PTN Situgunung Bidang Wilayah II Sukabumi.

Metoda restorasi yang diterapkan di blok Balong Los Beca ini yang disponsori (Adopter)  Mitsubishi Corporation dari negeri Sakura dengan masa adopsi selama lima tahun,  pada lahan seluas 18 ha,  satu ha diantaranya ditanami dengan jumlah bibit lebih dari 20.000 batang pohon/ha  (jarak tanam cukup rapat sekitar  70 cm x 70 cm).

Bibit pohon yang ditanam didapat dari kawasan TNGGP sendiri dengan cara cabutan (puteran), dipindah  dari areal yang jumlah anakannya cukup banyak (melimpah), sebanyak 38 jenis, antara lain rasamala, puspa, suren, saninten, kisireum, palahlar, kareumbi, pasang, dan ganitri. Pada saat penanaman ukuran tinggi bibit bervariasi mulai 30 cm sampai 50 cm.

Penanaman tersebut di atas disebut metode Miyawaki karena metoda ini diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Dr. Akira Miyawaki,  seorang peneliti kelahiran Jepang (29 Januari 1928). Beliau merupakan profesor Emeratus dari Universitas Yokohama Jepang dan Direktur Pusat IGES – Jepang untuk Studi Internasional mengenai ekologi, yang telah banyak melakukan penelitian vegetasi tumbuhan hutan selama 40 tahun diberbagai negara di dunia.

Kondisi Diawal Tahun 2014

Pertumbuhan tanaman pada system Miyawaki, cukup baik,  persen tumbuh tanpa sulaman mencapai 90 %, namun dengan adanya penyulaman, maka persen tumbuh 100 %.  Pada umur enam bulan tinggi rata-rata pohon berkisar antara 50 cm sampai 90 cm,  rasamala dan suren sudah mulai memperlihatkan gejala dominasi.

Perkembangan pertumbuhan pohon cukup stabil,  sampai umur dua tahun (awal 2014) persen tumbuh  masih berkisar 90 %.  Pertumbuhan horizontal bertambah rapat, namun pertumbuhan kearah vertical terlihat lebih cepat,  hal ini mungkin karena  tumbuhan rapat maka persaingan untuk mendapatkan sinar matahari semakin sengit.

Jenis yang berhasil mengembangkan pertumbuhan kearah vertical  melampaui jenis lainnya adalah suren dan manglid,  jenis suren bahkan ada yang tingginya sudah mencapai lima meter.  Jenis yang paling lambat pertumbuhannya adala palahlar, karean sifat pertumbuhannya yang lambat menyebabkan populasinya di alampun agak jarang.  Secara umum yang terlihat mendominasi pepohonan di blok Miyawaki ini adalah rasamala, dia tumbuh dengan baik kearah samping  dan ke arah vertical.

Efektif tapi Efisienkah ?

Dilihat dari tingkat pertumbuhan pohon, metoda Miyawaki cukup berhasil, minimal sampai umur sekitar dua tahun.  Namun bila dilihat dari segi pembiayaan,  dirasakan sangat mahal.   Bila harga bibit dan biaya penanaman sekitar Rp.  7.500,-/batang,  maka tiap ha kegiatan restorasi memerlukan biaya Rp. 187.500.000,- (metoda Miyawaki) dan Rp. 9.000.000,- (metoda konvensional).   Dengan perbandingan besar biaya seperti tersebut di atas, sepertinya metoda Miyawaki teh memang efektif namun bagi NKRI mah tidak termasuk efisien.

Destinasi Wisata Baru TNGGP

Selain keberhasilan dalam hal penutupan lahan, percontohan restorasi metoda Miyawaki ini juga mempunyai trend manjadi objek wisata pendidikan.  Setahun dari mulai diresmikannya restorasi metode Miyawaki di blok Balong-Los Beca, sudah banyak pengunjung yang datang ke lokasi tersebut, dari mulai pelajar, peneliti, peserta pelatihan, pengusaha, pejabat sampai kelompok petani hutan yang datang untuk studi banding kegiatan restorasi/rehabilitasi.

Selain untuk tujuan penelitian dan studi banding, beberapa bulan kebelakang ini mulai banyak pengunjung yang datang untuk berwisata ke lokasi tersebut.  Trend wisata alam ini terkait pula dengan keberadaan situs bersejarah berupa sisa reruntuhan rumah dan musium penelitian serta makam Max Edward Gottlieb Bartels (MEG Bartels) yang lokasinya bersebelahan dengan Hutan Percontohan Miyawaki. MEG Bartels adalah seorang ornitoloh kelahiran Jerman (24 Januari 1971). Beliau adalah penemu spesies Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang merupakan “gambaran nyata” dari burung Garuda (lambang NKRI).

Sampai saat ini telah berdatangan tamu dari berbagai kota (al.  dari Sukabumi, Bogor, Cirebon, Majalengka, Demak, Jepara, Pati, Pemalang, Indramayu, Madura, dan Bali)  dan berbagai negara (seperti  dari Jepang, China,  Hongkong, Thailand, Philipina).

Untuk itu :  “Marilah kita jaga dan tingkatkan  kualitas kawasan konservasi yang merupakan benteng pertahanan terakhir penyangga kehidupan”, bersama kita bisa menjaga kelestarian kawasan TNGGP sekaligus mewujudkan visi sebagai Pusat Pendidikan Konservasi Kelas Dunia. [teks by : Yanie & Agusmulya;  foto by:  OISCA Trainning Centre Smi]

Post a Comment

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit sed.

Follow us on