LEUWEUNG HEJO MASYARAKAT NGEJO (Hutan Terjaga Masyarakat Sejahtera), Program GREEN WALL
Organisasi dunia, WHO, pernah memprediksi bahwa bila kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrarngo (TNGGP) tidak dikelola dengan baik maka sekitar tahun 2020-an, lahan di komplek kedua gunung ini akan gundul, hutannya habis dibabad orang, sehingga menjadi lahan kritis. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi serta perindustrian semakin tinggi, yang kesemuanya memerlukan sumber daya alam yang semakin banyak. Namun tentunya kita semua tidak mau ekosistem hutan di kedua gunung tersebut habis atau rusak, maka pihak Balai Besar TNGGP bersama masyarakat dan mitra kerja lainnya bahu-membahu mengatasi gangguan hutan. Satu diantara banyak program pengelolaan taman nasional ini adalah program pemulihan eksositem dan pembinaan daerah penyangga.
Eks Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Pada tahun 2003, tepatnya tanggal 10 Juni 2003, terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tentang alih fungsi kawasan hutan di sekitar TNGGP. Dengan terbitnya SK tersebut maka kawasan taman nasional ini bertambah luas yang semula 15.196 hektare menjadi 22.851 hektare. Jadi ada penambahan sekitar 7.655 hektare, sekitar 2.707,74 diantaranya mengalami degradasi akibat aktifitas pertanian (eks PHBM Perhutani).
Untuk menanggulangi lahan tedegradasi tersebut, Balai Besar TNGGP telah melaksanakan berbagai upaya, secara garis besarnya ada dua kegiatan, yaitu pemulihan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat. Pemulihan ekosistem dimaksudkan agar lahan hutan yang terdegradasi segera menghijau, rimbun dengan pepohonan. Supaya masyarakat meninggalkan hutan dan tidak masuk lagi ke hutan yang dibina melalui kegiatan/ program pemberdayaan masyarakat.
Sampai saat ini banyak terlihat keberhasilan upaya pemulihan eksositem dan pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan yang menonjol antara lain di Resort Nagrak melalui program “Green Wall”, di Resort Bodogol melalui program “RHL terpadu”, di Resort PTN Sarongge dengan program “adposi pohon”-nya, dan di Resort Cimungkad dengan program “Miyawaki”-nya.
Benteng Hijau yang Berlapis
Program Daikin’s “Green Wall” merupakan kerjasama kolaborasi Balai Besar TNGGP dengan berbagai pihak, antara lain dengan CII, DAIKIN, dan masyarakat. Program yang mengupayakan benteng hijau berlapis ini dimulai sejak tahun 2008. Sampai saat ini, setidaknya telah berhasil diusahan dua lapis benteng hijau, yang pertama pembinaan masyarakat agar menjadi benteng berwawasan hijau (konservasi) dan kedua pemulihan ekosistem yang diharapakan akan menjadi benteng konservasi secara fisik. Kolaborasi ini untuk sementara sudah berhasil memulihkan kawasan seluas 320 hektare dan membina masyarakat di 12 kampung (500 orang) yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Gambar 1. Foto Kondisi Green Wall Diawal Progran Saat ini (Foto by CI Indonesia)
Sampai dengan saat ini telah ditanam sekitar 120.000 bibit pohon pada lahan seluas 320 hektare. Penanaman dilakukan secara berangsur selama 5 tahun. Jenis pohon yang ditanam antara lain puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa), manglid (Magnolia blumei), suren (Toona sureni), kisireum (Syzigium rostrattum), salam (Eugenia clavimirtus), dan Janitri (Elaeocarpus pierrei), serta lame (Alstonia scholaris). Untuk jelasnya jumlah pohon yang ditanam dan luas areal yang dipulihkan dapat dilhat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Grafik Progres Pananaman Pohon Program Green Wall
Untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat, maka di sepanjang jalur batas ditanami juga dengan tanaman buah-buahan. Selama periode program berlangsung, telah tertanam sebanyak 13.000 tanaman buah-buahan yang terdiri dari jenis aren (Arenga pinata), nangka (Artocarpus heterophyllus), rambutan (Nephelium lappaceum), pala (Myristica fragrans), jengkol (Pithecollobium lobatum), petai (Parkia speciosa), muncang (Aleurites moluccana), dan klewek (Pangium edule). Tanaman buah tersebut ditanam di batas luar kawasan perluasan dan menjadi sabuk hijau blok hutan Daikin. Jenis dan jumlah tanaman buah yang ditanam dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jenis-Jenis Tanaman Buah yang Ditanam di Batas Jawasan (Green Belt)
Jenis | Jumlah |
Aren (Arenga pinata) | 3.500 |
Nangka (Artocarpus heterophyllus) | 2.000 |
Rambutan (Nephelium lappaceum) | 1.500 |
Pala (Myristica fragrans) | 2.000 |
Jengkol (Pithecollobium lobatum) | 1.500 |
Petai (Parkia speciosa) | 1.500 |
Muncang (Aleurites moluccana) | 500 |
Klewek (Pangium edule) | 500 |
Total | 13.000 |
Gambar 3. Pengembangan Program Green Wall di Kampung Panyusuhan berupa Bantuan Instalasi Air Bersih
Untuk mewujudkan masyarakat yang berperan sebagai benteng berwawasan hijau, telah diusahakan berbagai upaya antara lain melalui pendekatan sosial ekonomi. Pendekatan sosial (untuk meningkatkan pengetahuan menggugah kesadaran dan kepedulian masyarakat) merupakan usaha pokok yang ditunjang dengan pendekatan ekonomi. Kegiatan sosial dilakukan melalui penyuluhan, pendidikan lingkungan, kursus-kursus, dan lain-lain. Dalam penyuluhan diberikan contoh manfaat hutan yang telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai hasil dari peningkatan ekonomi.
Di Kampung Tenggek, Desa Cihanjawar dibuat PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) berupa minihydro, karena di kampung ini belum terjangkau listrik dari PLN. Dengan dibangunnya PLTA ini masyarakat merasakan secara nyata pentingnya menjaga keutuhan hutan, karena pada saat restorasi dimulai PLTA hanya menghasilkan listrik untuk beberapa keluarga saja, namun saat ini setelah “Green Wall” berdiri dengan megah, debit air semakin besar dan relatif stabil sehingga hampir semua masyarakat Kampung Tenggek bisa menikmati aliran listrik.
Masih di Desa Cihanjawar, masyarakat Kampung Panyusuhan mendapat bantuan intalasi air besih (pipanisasi) dari program “Green Wall”. Karena selama ini masyarakat di kampung pinggiran hutan ini, tidak terlewati saluran air (baik sungai ataupun selokan), oleh karena itu mereka sangat memerlukan sarana air bersih. Program pipanisasi memanfaatkan sumber air berupa mata air yang berada di pinggiran hutan, sehingga masyarakat akan merasakan langsung pasang surut air sesuai kondisi hutan di atasnya.
Gambar 4. Pengembangan Program Green Wall di Kampung Panyusuhan berupa Pengembangan Usaha Budidaya Ikan
Program penyadaran pentingnya keberadaan hutan ini dilakukan pula dalam bentuk pemberian bantuan bibit ikan dan pembinaan usaha perikanan. Usaha perikanan ini sangat erat kaitannya dengan air, tanpa air usaha tidak akan jalan, sedangkan suplay air sangat tergantung pada kondisi hutan di atasnya. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan sadar dan peduli untuk menjaga dan memelihara hutan demi kelangsungan usahanya.
Berbagai bantuan dilakukan juga dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat (yang merupakan bagian dari program Green Wall ini), diantaranya pemberian bantuan bibit dan bimbingan usahatani sayuran dan ternak kambing serta pohon multi guna (MPTS) seperti aren (Arenga pinata), nangka (Artocarpus heterophyllus), jambu (Syzigium guajava), rambutan (Nephelium lappaceum), pala (Myristica fragrans), jengkol (Pithecollobium lobatum), dan petai (Parkia speciosa).
Gambar 5. Pengembangan Program Green Wall di Kampung Lamping berupa Pengembangan Usaha Ternak Domba
Manfaat atau “out come” program “Green Wall” sudah mulai dapat dirasakan, pemandangan yang tadinya gersang sekarang sudah mulai indah, sejuk, dan menghijau. Tentunya jasa lingkungan berupa fungsi produksi oksigen, penyerapan karbon, dan pengaturan tata air berjalan semakin baik. Beberapa penduduk Kampung Lamping melaporkan, paling tidak ada dua mata air yang beberapa tahun belakang ini sudah mati, sekarang (setelah “Green Wall” benar-benar menghijau) berair lagi bahkan bisa men-suplay air secara normal meskipun pada musim kemarau.
Bantuan ternak domba sudah berhasil menembus masyarakat di luar kelompok tani sasaran (awal). Kelompok tani yang menjadi sasaran (penggarap lahan hutan) sejumlah 500 orang terbagi dalam 26 kelompok, masing-masing kelompok diberi beberapa ekor bibit domba yang harus digulirkan kepada sesama anggota kelompok yang belum kebagian. Sampai saat ini guliran terus berjalan meskipun semua anggota kelompok sasaran sudah kebagian, guliran sudah mulai menembus masyarakat di luar kelompok tani sasaran, bahkan di Kampung Lamping hampir semua keluarga kebagian kambing guliran.
Meskipun tidak disadari masyarakat, hasil pengamatan rekan-rekan dari kegiatan kolaborasi “Green Wall”, beberapa jenis hama yang “booming” pada saat maraknya masyarakat berkebun di lahan hutan, seperti “ku’uk” (hama uret), semakin menghilang seiring dengan semakin berkurangnya kebun dan semakin baiknya kualitas hutan.
Dengan melihat dan merasakan manfaat keutuhan hutan serta karena lahan garapannya sudah tertutup pepohonan, dan memang juga sudah terjadi peningkatan kesadaran maka secara sukarela para penggarap lahan hutan meninggalkan lahan garapannya, beralih pada mata pencaharian yang dikembangkan pada program poemberdayaan masyarakat (community development). Sekitar 37,11 % para penggarap sudah turun gunung atau kawasan TNGGP, sisanya sudah menyatakan siap turun gunung dalam waktu dekat tanpa ada paksaan.
Dengan berhasilnya pemulihan ekosistem hutan ini, tantangan lain yang harus ditangani adalah upaya antisipasi terulangnya penggarapan lahan hutan pasca turunnya para penggarap, disamping tentunya melanjutkan upaya pemulihan eksositem ditempat lainnya. Pemantauan dan pemeliharaan tanaman hasil restorasi yang 320 hektare pun perlu terus lakukan. Perjuangan belum selesai, perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan.
Teks: Agus Mulyana
Dok.: BBTNGGP dan CI Indonesia