SARASEHAN BERSAMA MASYARAKAT PENYANGGA
Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor merupakan salah satu desa penyangga dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) walaupun tidak berbatasan secara langsung tetapi merupakan wilayah adminitratif terdekat. Desa ini dipisahkan dari taman nasional oleh wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas dan Taman Safari Indonesia.
Meskipun terhalang perkebunan teh dan Taman Safari Indonesia, tetap saja masih terjadi gangguan kawasan. Berdasarkan hasil patroli terlihat perubahan tren gangguan kawasan, dahulu di lokasi ini ditemui pengambilan tumbuhan hias tetapi saat ini beralih ke perburuan satwa. Pendekatan terhadap masyarakat terus dilakukan oleh petugas di wilayah resort Cisarua secara personal (door to door) tetapi belum semua masyarakat tersentuh informasi mengenai status pengelolaan kawasan. Karenanya dilakukan upaya pendekatan kembali dan penggalian informasi penyebab permasalahan tersebut.
Balai Besar TNGGP melakukan pendekatan melalui sarasehan yang dilaksanakan pada hari Jumat, 23 November 2018 di kampung paling ujung, tepat di pinggir perkebunan, yaitu Kampung Rawa Dulang, Desa Tugu Selatan. Sarasehan yang dimaksudkan untuk sosialisasi ini mengenalkan status pengelolaan kawasan dan gambaran permasalahan yang ada serta kebijakkan pengelolaan terkait dengan masyarakat di desa penyangga. Sejumlah 35 orang peserta yang hadir dan terdiri dari anggota masyarakat dan perwakilan dari lembaga kemasyarakatan desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bintara Pembinanaan dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas), pemuka agama, dan pihak perkebunan.
Acara diawali dengan sambutan dari pihak desa yang disampaikan Rina Herlina (Sekretaris Desa). Pada kesempatan ini Rina menyampaikan bahwa Desa Tugu Selatan telah terlibat dalam upaya penyelamatan satwa burung Jalak Putih bekerjasama dengan Taman Safari Indonesia dan menyadari bahwa dengan adanya TNGGP sebagai kawasan pengawetan satwa dan tumbuhan langka, dirasa penting semua pihak terlibat dalam upaya pengawetan tersebut.
Pada sambutan selanjutnya, Kepala Bidang PTN Wilayah III Bogor, menyampaikan tentang struktur dan mekanisme kerja pengelolaan kawasan TNGGP Bidang PTN Wilayah III Bogor yang berbatasan dengan wilayah 21 desa penyangga. Desa. Tugu Selatan merupakan salah satu desa penyangga yang penting dalam Resort Wilayah Cisarua.
Sebagai pemateri, Bambang Mulyawan (Kepala Seksi PTN Wilayah VI Tapos ), menyampaikan perbedaan tingkat pengelolaan antara taman nasional dengan hutan lindung dan hutan produksi (Perum Perhutani) serta peraturan yang terkait dengan status masing-masing kawasan.
Respon positif-pun bermunculan dari masyarakat, mereka banyak menyampaikan permasalahan yang ada di masyarakat terkait perubahan status kawasan hutan dari Perum Perhutani menjadi Taman Nasional, terutama tentang pemanfaatan jasa lingkungan. Mereka menyampaikan permasalahan dengan lancar pada suasana yang santai. Hal ini disebabkan karena sudah sejak lama terjalin komunikasi dan koordinasi antara pihak desa dan Balai Besar TNGGP bahkan sempat didirikan posko bersama yang dibangun di atas lahan PTPN VIII Gunung Mas, difungsikan sebagai Pos Pengamanan Kawasan antara PTPN VIII Gunung Mas, Taman Safari Indonesia, dan Balai Besar TNGGP.
Sayang, karena kurang intensifnya koordinasi dan menurunnya frekuensi “ngariung”, Posko bersama tidak lagi aktif difungsikan. Oleh karena itu perlu dihidupkan kembali jalinan koordinasi tersebut sehingga semua pihak terlibat dalam perlindungan kawasan. Selain itu, masyarakat dan beberapa aparat pemerintah bersedia membantu TNGGP dalam upaya pengamanan kawasan hutan antara lain dengan penyampaian informasi gangguan yang ditemui, sedangkan penindakan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berwenang. Masyarakat menginformasikan perburuan burung di kawasan hutan mulai bermunculan dengan maraknya kembali kontes suara burung dan perdagangan satwa tersebut.
Permasalahan kekurangan air juga, disampaikan masyarakat melalui LPM. Pada musim kemarau Desa Tugu Selatan mengalami kesulitan air bersih, padahal diketahui potensi air di TNGGP begitu melimpah dengan debit air sebesar 231 milyar liter/ tahun (penelitian Otto Sumarwoto, 1994). Daerah Puncak dan sekitarnya merupakan lokasi yang berdekatan dengan sumber air di TNGGP khususnya wilayah Cisarua cukup ironis ketika mengalami kekurangan air.
Namun, jika melihat kembali tata ruang wilayah di daerah tersebut banyak ketidaktepatan penggunaan lahan. Sebagai contoh banyak dibangunnya villa dan hotel yang bersifat komersial dan membutuhkan banyak sumber daya air padahal daerah tersebut merupakan area diperuntukkan sebagai resapan air. bisa jadi hal itu yang telah menyebabkan kesulitan air bersih di musim kemarau. Sebaliknya, pada saat musim hujan dengan aliran sungai pada hulu di kawasan TNGGP akan mengalirkan air pada sungai atau daerah berada di bawahnya sesuai dengan teori tekanan air yang mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Ketika lokasi yang berada di dekat hulu sudah mengalir degradasi atau berkurangnya daerah resapan air akibat banyaknya bangunan villa atau hotel maka volume air yang akan mengalir pada daerah dibawahnya cukup deras, sehingga banyak yang bilang banjir kiriman dari Bogor. Jika ditelusuri, sebagian besar pemilik hotel dan villa di wilayah Puncak-Bogor adalah orang Jakarta. Jadi tepatkah pernyataan ”Banjir Kiriman dari Bogor”?
Satu hal lagi yang menyentil, pernyataan Pak Ustadz, dulu sore-sore beliau melepas lelah dengan pergi ke hutan untuk mendengarkan suara burung dan cacing sonari, tapi sekarang tidak lagi senyaring seperti dulu. Itukah alert bagi kita untuk kembali bersama-sama merapatkan shaf untuk menjaga kawasan hutan TNGGP yang telah menyangga hajat hidup orang banyak. Salam Lestari…
Teks: Ratih Mayangsari, S.Hut.
Foto: Eric Rosady, S.Sos. (Copyright seksiptn6tapos)